Pernahkah
kau merasakan sesak karena rindu hingga air matamu tumpah tak tertahankan?
Bila
iya, lihatlah ke dalam sana, rabalah hatimu, ajaklah ia bicara. Apakah
sesungguhnya hakikat rindu itu sendiri? Terlepaslah dari apa pun yang tengah
engkau rindukan itu.
Pernah
di sebuah kelas, dengan kicau burung serindit di sudut-sudutnya, dengan
tetesan-tetesan bening embun menghiasi pepohonan di sekelilingnya, dan dengan
bola mata-bola mata yang menatap ingin tahu. Hari itu, saya mengajar sambil
bernyanyi riang di kelas. Mereka sangat antusias, bahkan sampai ada yang
meloncat-loncat.
Saya
memang tidak pernah melarang mereka untuk melakukan atau meribut sekencang apa
pun di kelas. Sepanjang mereka sopan dan paham dengan pelajaran, tidak ada
masalah. Karena untuk membuat anak-anak menerima pelajaran adalah dengan
membuat mereka senang terhadap gurunya terlebih dahulu. Dan saya – meski
separuh mati – menahan emosi sekuat yang bisa saya lakukan. Menghargai
hiper-aktifnya, karena saya pun pernah menjadi si kecil nakal seperti mereka.
Berada di titik yang sama dengan mereka.
Lalu
setelah saya tutup pelajaran, seorang murid perempuan mendekati saya. Berbisik.
“Ibuk,
aku mau kasih hadiah sama Ibuk.” Tersenyum menunjukkan gigi-gigi kecilnya.
“Hadiah
apa itu, Nak?” saya pegang bahunya, tersenyum menatap bola matanya.
“Ini,
Buk. Ini aku buat khusus untuk Ibuk.” menyodorkan bros jilbab kecil, berwarna
merah jambu, lusuh terkena debu karena sudah dibawa bermain lumpur agaknya.
“Cantik
sekali, Nak.” Saya memeluknya, berkaca-kaca.
Di
situ saya merasakan jika kita sebenarnya tak harus melakukan hal-hal besar.
Namun kita bisa melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Dan pelan
terasa rindu kepada mereka menyeruak, rindu melihat semangat belajarnya, rindu
melihat mereka tumbuh menjadi generasi-generasi kebanggaan umat, yang kelak
berdiri kokoh menyelamatkan nasib bangsa ini.
Setiap
kali ada kesempatan, saya ceritakan kisah-kisah pemimpin-pemimpin besar yang
dunia miliki. Kisah inspirasi dari seorang Mahatma Gandhi kecil pemalu, lalu
menjadi seorang pemimpin berpengaruh seperti yang dikenal oleh dunia saat ini.
Inspirasi dari seorang presiden Timor Leste yang pernah menahan tangis
kelaparan karena mencium bau masakan lezat dari tetangganya, sementara beliau
sendiri sudah beberapa hari tidak makan sama sekali. Inspirasi dari seorang Soekarno
kecil yang sangat bandel dan suka menjahili kawan-kawannya menjadi salah satu
orator paling berpengaruh di dunia. Inspirasi dari seorang anak kutu buku yang
seringkali bolos sekolah dan lebih memilih untuk bermain lalu menjadi seorang
presiden canggih di masa depan. Inspirasi dari seorang Ban Ki Moon kecil yang
berjalan hingga sembilan kilo meter setiap hari sepulang sekolah demi untuk belajar
bahasa Inggris dari seorang laki-laki pemilik bengkel berkebangsaan Amerika
yang tinggal di kampungya. Inspirasi dari seorang Tetsuko Kuroyanagi yang masa
kecilnya penuh dengan keusilan lalu menjadi menjadi seorang duta kemanusiaan
PBB, berkeliling-keliling ke seluruh dunia untuk bertemu dengan anak-anak dan
menyentuh kehidupan mereka. Inspirasi dari anak-anak di Afrika yang harus
berjalan hingga dua puluh empat kilo meter untuk mendapatkan air bersih.
Dan
lebih dari apa pun, saya ceritakan kepada mereka tentang hal yang terpenting,
lebih penting dari kehebatan apa pun di muka bumi ini, lebih canggih dari
kepemimpinan mana pun di jagad raya ini, yakni tentang bagaimana meneladani
akhlak dan kepemimpinan Rasulullah, mampu menyuapkan makan seorang kafir buta
yang sangat membencinya.
Sesuatu
terasa menyelinap ke dalam hati ini. Perasaan rindu – yang sampai saat ini tak saya pahami makna dan hakikatnya – entah pada apanya mereka. Yang saya tahu dengan
pasti, semua itu adalah keajaiban untuk dibagi dengan sesama, agar semuanya
bisa bertahan hidup lebih lama, agar semuanya hidup bukan hanya sekadar hidup,
namun bagaimana mengabadi dan menginspirasi dalam karya untuk peradaban
manusia.
Sucianik,
dengan bulir-bulir kasih
Pekanbaru,
25 Rabiul Akhir 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar