Apakah dengan pacaran ada yang bisa
menjamin kehidupan rumah tangga kita akan langgeng? Atau apakah dengan tidak pacaran
sudah bisa dipastikan semua akan berjalan baik-baik saja.
Apakah dengan belajar rajin nilai kita sudah pasti tinggi? Atau sebaliknya. Nah, inilah yang perlu kita pahami. Segala hal baik tidak selalu berkorelasi dengan hasil yang baik.
Apakah dengan belajar rajin nilai kita sudah pasti tinggi? Atau sebaliknya. Nah, inilah yang perlu kita pahami. Segala hal baik tidak selalu berkorelasi dengan hasil yang baik.
Dengan belajar rajin, nilai kita tidaklah otomatis langsung
tinggi. Kalau begitu, mending gak usah belajar aja lah. Ada yang memahaminya
seperti itu.
Well, mungkin karna saya aktivis kali ya. Dulu waktu SMP, jauh sebelum saya paham bahwa pacaran itu dilarang dalam islam, saya merasa bahwa hal itu hanya membuang-buang waktu saja. Jangankan pacaran, tidur saja nyaris tak sempat (sok :p). Mending saya gunakan waktu untuk berprestasi sebanyak-banyaknya.
Well, mungkin karna saya aktivis kali ya. Dulu waktu SMP, jauh sebelum saya paham bahwa pacaran itu dilarang dalam islam, saya merasa bahwa hal itu hanya membuang-buang waktu saja. Jangankan pacaran, tidur saja nyaris tak sempat (sok :p). Mending saya gunakan waktu untuk berprestasi sebanyak-banyaknya.
Saya ingat persis, waktu itu saya
semester 2 kelas dua SMP. Saya ada niat mau pacaran. Bertepatan pula, ada anak
laki-laki yang nembak, dia-nya lumayan kerenlah. Juara umum, aktif organisasi,
rajin sholat juga. Akhirnya dengan penuh kegalauan, saya buatlah Risk
Assessment. Apa saja keuntungan yang akan saya dapatkan bila menjadi
pacarnya. Jadilah saya buat daftar sebanyak-banyaknya.
Okelah, dia keren. Kalau saya
pacaran dengannya, sepertinya bakalan menaikkan gengsi. Oke, ceklist. Lanjut
poin ke dua. Dia cerdas, juara umum. Ceklist lagi. Dia rajin sholat. Ceklist. Dia
ramah dan humoris. Ceklist.
Saya kembali bertanya pada diri
sendiri. Kenapa saya harus pacaran dengannya? Saya tulis di kertas. Well,
dengan pacaran kami lebih semangat belajar bersama. Punya teman yang selalu
mengingatkan dan menyemangati. Tapi benarkah? Toh, saya tetap bisa semangat
tanpa harus dekat dengannya. Semangat itu lahir dalam diri ini, bukan karena
dia. Hati saya membantahnya. Oke, cross.
Lanjut ke poin berikutnya. Saya kalau
dipacari, maunya sudah pasti dinikahi. Apakah ada yang menjamin? Nanti kalau
dia mau pegang-pegang saya gimana? Atau lebih dari itu? Kalau dia mau cium saya
gimana? Karena ada teman yang selalu curcol waktu itu kalau dia habis ciuman
sama pacarnya. Kalau udah sampai ciuman, trus tahunya gak jodoh. Matilah. Ini jelas-jelas
merugikan saya. Saya cross lagi.
Kemudian saya berpikir dari sisi
sebaliknya. Mengapa dia menembak saya untuk jadi pacarnya? Baiklah, seorang teman
menyebutkan kalau laki-laki itu pernah cerita kalau dia suka saya karena
prestasi dan eksistensi di berbagai kegiatan di sekolah. Dan sebenarnya masih
banyak daftar pujian-pujian lain yang membuat saya terbang saat itu. Tapi saya
coba analisa, hellooooow, kalau dia suka karena prestasi, nanti bila ada yang prestasinya
lebih banyak dari saya bahaya dong. Kalau
ada yang kepemimpinannya lebih bagus dari saya, knock out juga nih.
Akhirnya saya putuskan untuk tidak
menerima ajakan pacarannya. Teman-teman waktu itu bilang saya bodoh dan cupu.
“Masak cowok keren kayak gitu gak
diterima. Ntar gak laku, mampus lho!” itu salah satu komentar terpedas waktu
itu.
Tapi saya tahan keinginan untuk
membantah mereka. Biarkan mereka dengan pendapatnya. Dan biarlah saya bertahan
dengan apa yang saya pahami. Saya fokuskan diri untuk semakin rajin dan
semangat untuk “upgrade diri.” Saya sibukkan diri membaca buku, ikut les bahasa
asing, gabung di ekstrakurikuler sebanyak-banyaknya.
Sekitar dua tahun kemudian, laki-laki
itu masih tetap satu komunitas dengan saya. Kami masih tetap seperti dulu, banyak
berinteraksi di beberapa organisasi yang sama. Namun, ada beberapa hal yang
membedakan dia yang sekarang dengan yang dulu. Dia sudah berani pegang-pegang
kepala cewek. Juara umumnya sudah lepas. Sholatnya kadang iya kadang tidak. Progress-nya
lebih keren dululah. Dan yang paling membuat saya bersyukur tidak pernah menjadi
pacarnya adalah, setelah saya tolak, ternyata dia sudah pacaran dua kali.
Dan
belakangan saya tahu, ternyata di dalam kitab suci telah disebutkan. Perempuan yang
baik untuk laki-laki yang baik. Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik. Teruslah
memperbaiki diri. Jodoh itu berbanding lurus dengan kualitas kita. Siapa sih
yang tak mau pacaran? Tapi ayolah kita mulai belajar berpikir objektif. Pertimbangkan
dulu dari segala sisi. Bila hal itu mendekatkan diri kita dengan impian, mari
perjuangkan. Bila tidak, dengan tegas, tinggalkan sekarang juga. Tapi hidup kan
hanya sekali? Kapan lagi kita bersenang-senang? Well, justru karna dia sekali
itulah kenapa kita harus memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baik mungkin. Let’s
make it extraordinary.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar