Rabu, 06 Januari 2016

Cinta dan Proporsionalitas


Cinta. Satu kata yang selalu menuai cerita.  
Seorang Plato, pernah bertutur kala itu, “Apabila seseorang jatuh cinta, maka apa pun yang disentuhnya akan menjadi puisi.” Indah sekali, bukan?
Di satu sisi memang indah. Namun di sisi lain, bagi yang merasakannya bisajadi adalah sebuah keberanian sekaligus ketakutan, cemas, dan ..... entahlah. Segala rasa bercampur.  
Orang-orang yang jatuh cinta, cenderung mengingat segala hal tentang yang dicintainya. Ada pula yang sampai kehilangan fitrahnya sebagai manusia, yakni nyaris lupa bahwa bagaimana pun cinta kepada Sang Pencipta adalah puncak dari segala cinta.
Sesungguhnya hal ini mengajarkan tentang mengendalikan diri dan tetap menjaganya dalam suci. Apakah Allah memang benar-benar ingin mengajarkan kita tentang suatu hal baru dengan membuat kita merasakan jatuh cinta?
Sungguh, bersama kalam-Nya, Allah ajarkan bahwa kecintaan terhadap dunia adalah ujian. Dan hakikat dari sebuah ujian adalah tentang belajar, yang akan membawa kita naik ke tangga lebih tinggi. Padahal fakta telah menyerakkan makna dari cinta itu sendiri.
Artinya, seseorang yang jatuh cinta lalu dia berubah menjadi pribadi yang lebih terkontrol, lebih bersemangat meraih impian, lebih mandiri, lebih disiplin, dan mengalami perubahan yang dahsyat dalam hidupnya. Maka tak pelak, itulah sebenar-benarnya cinta.
Namun apabila dia berubah menjadi lebih buruk, dalam hal manajemen waktu segala macam. Maka berhati-hati adalah pilihan terbaik. Periksa kembali hati, raba dan ajaklah bicara. Apakah sebenarnya yang tengah bersemi ini?
Istikharahlah, memohon pada-Nya agar berkah dalam langkah. Bila ia adalah cinta yang benar, maka ia akan tetap bertahan dalam hati. Namun lebih terkontrol. Bila ia bukan sejati, pelan namun pasti, ia memudar, Pemilik Rasa itu sendiri yang akan memudarkannya. Karena Allah memiliki rencana, memiliki sketsa indah untuk hamba yang mengembalikan segala urusan hanya kepada-Nya.   
Dan cintailah sesuatu sesuai dengan porsinya. Rasulullah ajarkan kita untuk benci dan cinta sewajarnya. Hingga bila suatu hari keadaan berubah, maka semua akan baik-baik saja.
Sebenci-benci apa pun, tetaplah berlaku adil padanya. Ingatkah kisah Rasulullah menyuapi seorang yahudi buta dengan penuh kasih? Itulah yang Rasul kita ajarkan. Rasulullah menyeru kebenaran, melawan kekafiran. Namun tetap menyuapi makan. Artinya yang beliau benci itu adalah kekafirannya, bukan orangnya. Disitulah kita akan merasakan betapa islam ini indah. Objektif sekali, bukan?
Allah juga menitipkan pesan cinta kepada mentari, bintang, pelangi, dan purnama. Kilauan mentari yang sementara, kedipan bintang yang sepersekian detik saja, guratan pelangi yang tak juga begitu lama, sampai ke purnama yang memijar beberapa malam saja dalam sebulannya. Disitu Allah ingin kita berpikir, bahwa keindahan dunia itu hanyalah sementara.
Semoga kita bisa mencintai segala sesuatu dengan benar, lalu berdiri tangguh menjadi inspirasi pencerah peradaban.

Pekanbaru, 25 Rabiul Awal 1437 H
Sucianik Skyda

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar