Cinta. Satu kata yang selalu menuai cerita.
Seorang Plato, pernah bertutur kala itu, “Apabila seseorang jatuh
cinta, maka apa pun yang disentuhnya akan menjadi puisi.” Indah sekali, bukan?
Di
satu sisi memang indah. Namun di sisi lain, bagi yang merasakannya bisajadi
adalah sebuah keberanian sekaligus ketakutan, cemas, dan ..... entahlah. Segala rasa
bercampur.
Orang-orang yang jatuh cinta, cenderung mengingat segala hal
tentang yang dicintainya. Ada pula yang sampai kehilangan fitrahnya sebagai
manusia, yakni nyaris lupa bahwa bagaimana pun cinta kepada Sang Pencipta
adalah puncak dari segala cinta.
Sesungguhnya hal ini mengajarkan tentang mengendalikan diri dan
tetap menjaganya dalam suci. Apakah Allah memang benar-benar ingin mengajarkan
kita tentang suatu hal baru dengan membuat kita merasakan jatuh cinta?
Sungguh, bersama kalam-Nya, Allah ajarkan bahwa kecintaan terhadap
dunia adalah ujian. Dan hakikat dari sebuah ujian adalah tentang belajar, yang
akan membawa kita naik ke tangga lebih tinggi. Padahal fakta telah menyerakkan
makna dari cinta itu sendiri.
Artinya, seseorang yang jatuh cinta lalu dia berubah menjadi
pribadi yang lebih terkontrol, lebih bersemangat meraih impian, lebih mandiri,
lebih disiplin, dan mengalami perubahan yang dahsyat dalam hidupnya. Maka tak
pelak, itulah sebenar-benarnya cinta.
Namun apabila dia berubah menjadi lebih buruk, dalam hal manajemen
waktu segala macam. Maka berhati-hati adalah pilihan terbaik. Periksa kembali
hati, raba dan ajaklah bicara. Apakah sebenarnya yang tengah bersemi ini?
Istikharahlah, memohon pada-Nya agar berkah dalam langkah. Bila ia
adalah cinta yang benar, maka ia akan tetap bertahan dalam hati. Namun lebih
terkontrol. Bila ia bukan sejati, pelan namun pasti, ia memudar, Pemilik Rasa
itu sendiri yang akan memudarkannya. Karena Allah memiliki rencana, memiliki sketsa
indah untuk hamba yang mengembalikan segala urusan hanya kepada-Nya.
Dan cintailah sesuatu sesuai dengan porsinya. Rasulullah ajarkan
kita untuk benci dan cinta sewajarnya. Hingga bila suatu hari keadaan berubah,
maka semua akan baik-baik saja.
Sebenci-benci apa pun, tetaplah berlaku adil padanya. Ingatkah
kisah Rasulullah menyuapi seorang yahudi buta dengan penuh kasih? Itulah yang
Rasul kita ajarkan. Rasulullah menyeru kebenaran, melawan kekafiran. Namun tetap
menyuapi makan. Artinya yang beliau benci itu adalah kekafirannya, bukan
orangnya. Disitulah kita akan merasakan betapa islam ini indah. Objektif sekali,
bukan?
Allah juga menitipkan pesan cinta kepada mentari, bintang, pelangi,
dan purnama. Kilauan mentari yang sementara, kedipan bintang yang sepersekian
detik saja, guratan pelangi yang tak juga begitu lama, sampai ke purnama yang memijar
beberapa malam saja dalam sebulannya. Disitu Allah ingin kita berpikir, bahwa
keindahan dunia itu hanyalah sementara.
Semoga kita bisa mencintai segala sesuatu dengan benar, lalu
berdiri tangguh menjadi inspirasi pencerah peradaban.
Pekanbaru, 25 Rabiul Awal 1437 H
Sucianik Skyda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar