Sucianik
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UIN Sultan Syarif Kasim Riau angkatan 2012
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UIN Sultan Syarif Kasim Riau angkatan 2012
a.
Latar Belakang
Muhammad Athiyyah al-Abrasyi dalam bukunya Ruh al-Tarbiyah wa
al-Ta’lim, mendefenisikan pendidikan sebagai suatu upaya maksimal seseorang
atau kelompok dalam mempersiapkan anak didik agar bisa hidup sempurna, bahagia,
cinta tanah air, fisik yang kuat, akhlak yang sempurna, lurus dalam berpikir,
berperasaan halus, terampil dalam bekerja, saling menolong terhadap sesama,
dapat menggunakan pikirannya dengan baik melalui lisan maupun tulisan, dan
mampu hidup mandiri.
Pengertian ini senada dengan rumusan fungsi dan tujuan Pendidikan
Nasional Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 sebagai berikut: “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”[1]
Dalam dunia pendidikan, seorang guru hendaknya bertolak dari
Al-Qur’an, segala aspek ilmu pengetahuan berlandaskan kitabullah. Sehingga
menjadi landasan yang kuat dan bisa menjadi pondasi takwa.
Penggunaan metode pendidikan, sangatlah urgen demi membuat materi yang
disampaikan oleh seorang guru mudah dimengerti. Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl
89, ayat ini menerangkan bahwa Allah menurunkan kepada utusan-utusana-Nya kitab
yang agung ini sebagai penjelas segala sesuatu.
Hal itu diterangkan dalam ayat
lain, seperti firman-Nya:
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[2],
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-An’aam
[6]: 38
Nabi SAW bersabda, “Akan terjadi fitnah!” Kemudian ditanyakan: “Apa
jalan keluar dari fitnah itu?” Kemudian beliau menjawab. “Kitabullah, yang
merupakan kisah tentang orang sebelummu, berita bagi orang setelahmu dan hukum
diantaramu.” [3]
Sa’id bin Manshur dalam sunannya menyebutkan atsar yang diberitakan
oleh Khadij bin Muawwiyah, dari Abu Ishaq, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, ia
berkata: “Barangsiapa yang menginginkan ilmu pengetahuan maka kembalilah
pada Al-Qur’an, karena di dalamnya ada berita tentang kaum yang terdahulu dan
yang akan datang.” Al-Baihaqi berkata: “Yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud
adalah asal dari ilmu pengetahuan.” [4]
Pada surat An-Nahl ayat 89 dijelaskan bahwa Al Qur’an
selain berperan untuk menjelaskan, juga merupakan sesuatu yang berfungsi
sebagai petunjuk, rahmat, dan pemberi kabar gembira bagi orang yang menyerahkan
diri.
Sebagaimana disebutkan, orang yang mengalami pendidikan
islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi
“insan kamil”. Hal ini diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi
dirinya dan gemar mengembangkan ajaran islam, dapat mengambil manfaat yang
semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini
dan di akhirat nanti. [5]
Hubungannya dengan metode pendidikan adalah dengan adanya
penerapan metode pendidikan qur’ani ini, maka tujuan yang telah diformulasikan
tersebut akan dapat tercapai. Metode-metode pendidikan dalam al-Qur’an ini sangat
ampuh bila diterapkan dengan baik, karena hal tersebut seiring sejalan dengan
tujuan pendidikan islam yang menargetkan terwujudnya kepribadian-kepribadian
insan kamil. Yakni generasi-generasi yang bertakwa kepada Allah, berkepribadian
baik, dan berpola pikir canggih yang cerdas dan mencerdaskan.
b. Batasan
Masalah
Dari latar belakang diatas, maka
pembahasan dalam makalah ini dapat dibatasi sebagai berikut:
1). Tulisan ini membahas tentang
Penerapan Metode Pendidikan yang berlandaskan pada Al-Qur’an.
2). Pembahasan dalam makalah ini
bersifat tematik, yakni dengan mengambil beberapa ayat yang berhubungan dengan
metode-metode tersebut dan bagaimana penerapannya dalam praktik belajar
mengajar.
c. Rumusan
Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1). Apa landasan penerapan metode
pendidikan dalam al-Qur’an yang dapat diterapkan dalam membangun keefektifan
proses belajar mengajar?
2). Bagaimana penerapan metode
pendidikan qur’ani tersebut dalam kehidupan sehari-hari?
d. Tujuan
Penulisan
1). Penulisan makalah ini bertujuan
untuk mengetahui metode-metode pendidikan yang ada di dalam al-Qur’an.
2). Penulisan malakah ini
dilaksanakan untuk mengetahui bagaimana penerapan metode-metode pendidikan
qur’ani tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
II.
PEMBAHASAN
a.
Aplikasi Metode Pendidikan Qur’ani
1).
Metode Amstal
a).
Pengertian
Amstal adalah bentuk jamak dari “matsala”. Kata “matsala”
sama dengan “syahaba”, baik lafaz maupun maknanya. Jadi arti lughawi
amtsal adalah membuat permisalan, perumpamaan, bandingan, atau analogi. Manna
Khalil (1992: 400) menyebutkan pengertian amtsal al-Qur’an yaitu “Menonjolkan
makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh
dalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih maupun perkataan bebas.
Abdurahman An-Nahlawi (1989: 350) memberikan pengertian “Matsal
adalah sifat sesuatu itu yang menjelaskannya dan menyingkap hakikatnya, atau
apa yang dimaksudnya untuk dijelaskannya, baik na’atnya (sifat) maupun ahwalnya”.
b). Landasan Teori
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber berbagai ilmu pengetahuan
yang tak akan pernah kering walaupun digali terus menerus, termasuk dalam
bidang pendidikan. Ia merupakan sumber inspirasi untuk dikaji dari berbagai
sudut pandang.
Adapun dasar dalam mempelajari “Amstal Qur’ani”, yaitu:
“Kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung,
pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada
Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka
berfikir.”
(Q.S. Al-Hasyr [59]: 21)
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia; dan tidak
ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
(Q.S. al-Ankabut [29]: 43)
“Dan sungguh Kami telah membuat bagi manusia didalam Al-Qur’an ini
setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran.”
(Q.S. al-Zumar [39]: 27)
c). Penerapan Metode Amtsal
Hal-hal yang bisa
dilakukan seorang dalam penerapan metode amtsal adalah:
(1). Guru mengungkapkan pokok bahasan yang hendak disajikan.
(2). Guru mengangkat ayat-ayat tamsil yang relevan dengan pokok
bahasan.
(3). Guru mengembangkan pokok bahasan dengan cara memberikan
perumpamaan (tamsil) yang sesuai dengan dunia siswa.
Seorang guru
ditargetkan dapat mengambil perumpamaan-perumpamaan dari al-Qur’an secara
kreatif. Contohnya, menganalogikan masalah berinfak di jalan Allah dengan orang
yang menanam. Menanam pohon yang baik sama halnya menyiapkan sesuaut untuk
dipetik di kemudian hari.
2). Metode Kisah Qur’ani
a). Pengertian
Kata “kisah”
berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “qishah”. Diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “kisah” yang berarti cerita. Namun terdapat
perbedaan yang prinsipil antara makna kisah dala bahasa al-Qur’an dengan kisah
dalam bahasa Indonesia. Kisah dalam bahasa al-Qur’an bermakna sejarah (tarikh)
yaitu peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di zaman dahulu. Sedangkan kisah
dalam bahasa Indonesia mengandung arti cerita-cerita yang berbau mistik atau
legenda yang dalam al-Qur’an disebut “Asathir”. [6]
b). Landasan Teori
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.” (Q.S. Yusuf [12]: 111)
Kisah dalam al-Qur’an merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi
pada manusia-manusia terdahulu dan merupakan peristiwa sejarah yang dapat
dibuktikan kebenarannya secara filosofis dan secara ilmiah melalui saksi-saksi
bisu berupa peninggalan-peninggalan orang-orang terdahulu seperti Ka’bah di
Makah, Masjidil Aqsha di Palestina, dan Piramida di Mesir. [7]
c). Penerapan Metode Qur’ani
Dalam pendidikan
islam, kisah-kisah dalam al-Qur’an mempunyai fungsi edukatif yang sangat
berharga dalam suatu proses penanaman nila-nilai ajaran islam. Kisah-kisah
sulit dicari gantinya kecuali dengan diubah dalam cara penyampaian saja, yakni
dengan bahasa lisan. Kisah qur’ani dapat dijadikan pelajaran sekaligus metode
pengajaran.
Kisah al-Qur’an
dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran dan metode mengajar. Bila kisah
tersebut dijadikan sebagai bahan pelajaran, maka disajikan secara utuh. Namun
bila dijadikan metode mengajar, maka cukup disajikan penggalan-penggalannya
saja. penggalan-penggalan kisah tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk
membawa murid pada suatu situasi pemikiran atau kejiwaan tertentu dalam rangka
memancing perhatian dan perasaan murid.
Adapun strategi
penerapan metode kisah ini adalah:
(1). Penggalan kisah dijadikan sebagai pengantar untuk membawa
murid pada suatu pemikiran, penghayatan terhadap nilai-nilai tertentu.
(2). Penggalan-penggalan kisah Qur’ani dapat dijadikan sebagai
materi pokok dalam topik bahasan yang disampaikan. Suatu kisah dalam al-Qur’an
yang diambil bagian-bagian tertentu saja sesuai kebutuhan bahan pelajaran.
(3). Penggalan kisah dapat dijadikan sebagai alat untuk memancing
perhatian murid terhadap materi pelajaran yang akan disampaikan.
(4). Penggalan kisah dapat dijadikan alat untuk memancing emosi
sehingga muncul keberanian untuk membela kebenaran.
(5). Penggalan kisah dapat dijadikan sebagai alat untuk menanaman
kebencian terhadap munkar dan kecintaan terhadap kebaikan.
(6). Penggalan kisah tersebut dapat dijadikan alat untuk memancing
murid untuk memiliki rasa ingin tahu hingga timbul motivasi untuk rajin
membaca.
Adapun langkah-langkah penerapan Metode Kisah adalah:
(1). Guru mempersiapkan pokok bahasan dan sub bahasan.
(2). Mengumpulkan penggalan-penggalan kisah Qur’ani yang
berhubungan dengan pokok bahasan.
(3). Menyususn tokoh-tokoh dalam kisah tersebut untuk mudah diingat
murid.
(4). Menyebutkan tema pokok pelajaran dan kisah Qur’ani yang akan
disajikan guna manrik perhatian dan konsentrasi murid.
(5). Kisah-kisah Qur’ani yang disajikan dianalogikan dengan
pengalaman-pengalaman praktis murid dalam kehidupan sehari-hari.
(6). Materi pokok pelajaran disampaikan disaat klimaks dari suatu
penggalan kisah.
(7). Menanyakan tokoh-tokoh dalam kisah yang telah disajikan.
(8). Menegaskan kembali inti dari pokok pelajaran.
3). Metode Ibrah-Mauidzah
a). Pengertian
Kata “ibrah”
berasal dari akar kata “abara”. “’Abara al-Ra’yu” berarti
menafsirkan mimpi dan mengetahui apa yang akan terjadi pada orang yang
bermimpi. Sedangkan “abara al-Wadiya” atau “’abara al-Nahr”
berarti menyebrangi lembah atau sungai dari tepi ke tepi lain yang berlawanan. “Al-Ibr”
berarti juga melampaui dari suatu keadaan pada keadaan yang lain. Kata “ibrah”
juga berarti “al-‘Ujbu” yakni kekaguman, “I’tibara minhu” sama
dengan kata “ta’ajjaba” yakni kagum.
Pengertian
ibrah dalam al-Qur’an dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mengambil
pelajaran dari pengalaman-pengalaman orang lain atau dari peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa lampau melalui suatu proses berpikir secara mendalam,
sehingga menimbulkan kesadaran pada diri seseorang. Dari kesadaran itu akan
muncul keinginan untuk mengambil pelajaran yang baik.[8]
“Mauidhah”
berarti nasihat, kata tersebut sejalan dengan makna kata “wa’azha”, “ya’izhu”,
“wa’zhan”, “waizhatan”, dan “wa mauizhatan” yang berarti
memberi nasihat (Abdullah bin Nuh 1981: 264).
Dapat disimpulkan
bahwa metode ibrah mauizhah ialah suatu cara penyampaian materi
pelajaran melalui tutur kata yang berisi nasihat-nasihat dan pengingatan
tentang baik buruknya sesuatu.
b). Landasan Teori
“Maka mengambil i’tibarlah kamu sekalian wahai orang-orang yang
memiliki penglihatan.”
(Q.S. al-Hasyr
[59]: 2)
“Dan kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah. Oleh
sebab itu berilah peringatan itu akan bermanfaat.” (Q.S. al-‘Ala [87]: 8-9)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati
supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menepati kebenaran.” (Q.S. al-‘Ashr [103]: 1-3)
Ayat tersebut adalah isyarat agar setiap mukmin saling
nasihat menasihati baik dalam kebenaran maupun kesabaran, karena nasihat akan
membawa manfaat dan memberikan dampak yang positif baik kepada yang memberi
nasihat maupun yang diberi nasihat.
Dalam dunia
pendidikan, peran seorang guru dalam menginspirasi murid-muridnya. Jadi,
pengaruh nasihatnya sangatlah besar dalam proses pencapaian tujuan pembelajaran
tersebut.
c). Penerapan Metode Ibrah-Mauizhah
Metode ini
diistilahkan oleh al-Nahlawi sebagai pendekatan pendidikan keimanan dalam
al-Qur’an atau disebut sebagai Metode Qur’aniyah yang memiliki berbagai
keistimewaan karena adanya keselarasan dengan fitrah atau potensi manusia
sebagai pendidik dan mendidik.
Sebagai metode
mengajar, ibrah dan mauizhah dapat dipergunakan pendidik dalam mengadakan
hubungan dengan siswa saat berlangsungnya pengajaran. Peran metode pengajaran
ini sebagai alat untuk menciptakan proses belajar mengajar atau terciptanya
suasana edukatif.
Adapun hal-hal
yang dilakukan pada proses penerapan Metode Ibrah-Mauizhah yaitu:
(1). Menyusun konsep yang akan disajikan sesuai dengan pokok
bahasan termasuk landasan-landasannya.
(2). Menyiapkan jenis-jenis ibrah yang disesuaikan dengan pokok
bahasan yang akan disajikan, baik melalui ayat-ayat Qur’aniyah maupun ayat-ayat
kauniyah.
(3). Menjelaskan pokok bahasan dan konsep-konsep dasar yang akan
disajikan berupa pengertian lugawi dan maknawi yang disertai landasan Qur’ani.
(4). Pembawaan ibrah yang telah ditentukan sebelumnya, yang
disesuaikan dengan pokok bahasan yang akan disajikan, baik yang diambil dari
ayat-ayat Qur’ani maupun dari peristiwa-peristiwa alam. Dalam membawakan ibrah
atau mengilustrasikan, hendaknya dengan menggunakan suara bervariasi yang
disesuaikan dengan karakter ibrah. Agar ibrah tersebut lebih menyentuh kalbu.
(5). Mengarahkan para siswa pada ibrah melalui
pertanyaan-pertanyaan atau membandingkan-bandingkan dengan hal-hal yang lebih
dekat dengan siswa atau dialaminya.
(6). Membawa siswa pada penghayatan nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap bentuk ibrah, baik yang berupa pelajaran, nasihat maupun
peringatan.
(7). Mengkaji kembali apa yang telah disampaikan. Hal itu dapat
dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan atau memberi kesempatan pada siswa
untuk bertanya supaya terdeteksi sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi
yang telah disampaikan.
(8). Memberikan tugas berupa pengambilan ibrah yang disesuaikan
dengan pokok bahasan yang telah disajikan.
4) Metode Keteladanan
a). Landasan Teori
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan hari
akhir, dan dia banyak mengingat Allah.”
(Q.S. al-Ahzab [33:21)
“Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan buat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.”
(Q.S. Saba [34: 28])
“Kami mengutusmu betul-betul sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. al-Anbiya [21: 107])
“Dan tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang yang Kami
beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan, jika kalian mengetahui, dengan membawa keterangan-keterangan dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka
memikirkan.” (Q.S. An-Nahl
[16]: 43-44)
Keteladanan
merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah dan dianggap
paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya.
Oleh karena itu, apabila seorang pendidik mendasarkan metode pendidikannya
kepada keteladanan, maka konsekuensinya ia harus dapat memberikan teladan
kepada para peserta didik dengan berusaha mencontoh atau meneladani Rasulullah
SAW.[9]
b). Penerapan Metode Keteladanan
Pada usia tertentu
anak-anak mempunyai potensi berupa kesiapan untuk meniru perilaku orang yang
dijadikan idola dalam hidupnya. Potensi ini ada pada setiap orang sesuai dengan
perkembangan kejiwaan anak tersebut. Oleh karena itu, dalam islam anak-anak
belum diperintah melaksanakan sholat apabila masih berumur tujuh tahun, namun
tidak dilarang sebelum umur itu anak dilatih untuk meniru dan mengikuti
gerakan-gerakan sholat kedua orang tuanya. Karena nnak dapat melihat dan
mencontoh, sehingga terbiasa melakukannya sebelum datang kewajiban bagi
dirinya. [10]
Ada dua bentuk metode pendidikan keteladanan, yaitu dengan
disengaja dan dipolakan sehingga sasaran perubahan perilaku dan pemikiran anak
sudah direncanakan dan ditargetkan, dan ada bentuk yang tidak disengaja dan
tidak dipolakan. Kedua bentuk ini ada yang berpengaruh secara langsung pada
perilaku anak dan ada pula yang memerlukan proses lebih jauh lagi.[11]
III.
PENUTUP
a.
Simpulan
Dari pengumpulan dan analisis ayat-ayat yang berhubungan dengan
metode pendidikan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni:
1). Metode-metode pendidikan qur’ani ini bila diterapkan dengan
baik, maka akan bisa mengantarkan produk-produk pendidikan itu seperti yang
telah diformulasikan pada tujuan pendidikan islam itu sendiri. Yakni mencetak
generasi-generasi yang bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, dan cerdas serta
mencerdaskan.
2). Penerapan metode pendidikan qur’ani ini efektif untuk
menanamkan rasa cinta peserta didik terhadap kebenaran dan rasa benci terhadap
kebatilan.
3). Penerapan metode pendidikan qur’ani ini mencontohkan mereka figur-figur
yang baik dan inspiratif dalam al-Qur’an serta membuat mereka mempunyai
teladan-teladan yang iman, akhlak, dan pola pikirnya terintegrasi. Sehingga
generasi-generasi yang dihasilkan pun berpola pikir ‘integrated’ seperti
tersebut diatas.
4). Penerapan metode keteladanan dapat menjaga para pendidik dan
peserta untuk tetap dalam kebaikan. Karena dengan metode tersebut, seorang
pendidik pun merasa harus terus meng-upgrade dirinya. Hal ini sama
halnya dengan membangun mesin reproduksi generasi-generasi cerdas dan bertakwa.
Referensi
Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta:
Almahira. 2010
Alwasilah, Chaedar. Pokoknya Menulis. Bandung: Kiblat Buku
Utama. 2008
Darajat, Zakiah dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 1991
Dr. H. Syahidin. Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an.
Bandung: Alfabeta. 2009
Drs. H. Sutarmo. M. Ag. Penulisan Karya Ilmiah: Panduan untuk
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau. 2011/2012
Syaikh Asy-Syanqithi. Tafsir Adhwa’ul Bayan. Pustaka Azzam.
Jakarta. 2007
Syaifuddin, Muhammad. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam.
Bahari Press: Writing Revoluton. 2012
[1] Dr. H.
Syahidin. Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur’an. Bandung: Alfabeta. 2009.
Hal. 38
[2]
Sebahagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan
arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul
mahfudz. dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam
Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum,
hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan
kebahagiaan makhluk pada umumnya.
[3] Dinukil
dari Ali bin Abi Thalib oleh Tirmidzi. Pembahasan tentang keutamaan-keutamaan
Al-Qur’an, hadist No. 2906. Ad-Darami, Pembahasan tentang keutamaan-keutamaan
Al-Qur’an 2/435 dan 436
[4] Syaikh
Asy-Syanqithi. Tafsir Adhwa’ul Bayan. Pustaka Azzam. Jakarta. 2007. Halaman 549
[5] Zakiah
Darajat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 29
[6] Dr.
H. Syahidin, Op.Cit., Hal. 93
[7] Ibid.,
hal. 95
[8] Ibid.,
hal. 110
[9] Ibid.,
hal. 153
[10] Ibid.,
hal. 156
[11] Ibid.,
157
thanks for your posting, its give me a benefit so much.. :)
BalasHapus