Ketika itu, ia tengah melakukan perjalanan panjangnya menuju suatu
tempat yang indah. Berjalan jauh, mengeluarkan seluruh tenaga dan pikirannya
untuk membuat perjalanan itu berhasil. Panas terik, duri-duri melukai kakinya, kehausan
yang melanda, ia abaikan. Berkali-kali seseorang mengajaknya berhenti berjalan,
ia urung, menoleh sedikit, lalu pergi lagi. Melanjutkan perjalanan menuju ‘cahaya’
yang diyakininya ada diujung sana.
“Maukah kau menjadi penggenap hidupku?” Tanya seorang laki-laki
pada suatu hari.
“Apa?” ia meyakinkan diri bahwa tidak sedang salah dengar.
“Menjadi seorang sahabat yang akan menemani sisa-sisa hidupku. Maukah?”
ia ulangi kata-katanya.
“Terima kasih. Maafkan aku untuk mengatakan tidak.” Ia menjawab tak
tega. Tapi bagaimana pun ia harus jujur dengan apa yang dirasakannya.
Berkali-kali, seseorang itu datang lagi. Menghantui perjalannya. Mengganggu
langkah-langkahnya. Sementara seseorang yang lain yang ia tunggu tak jua
kunjung datang. Ia sampaikan rindunya pada rembulan yang purnama, pada air hujan
yang menetes di jendela, pada lembaran-lembaran putih yang ia torehkan tinta di
atasnya, pada angin yang semilir menelisik anak rambut, pada bening-bening
butiran yang mengalir dalam sujud panjangnya.
Rasa itu tak pernah ia undang. Tiba-tiba ia menyeruak, menyelinap
ke dalam nurani nun jauh di sana. Ia tak mengerti bagaimana perasaan itu tumbuh.
Tiba-tiba ia sudah bersemi. Batinnya berteriak bahwa ia bersungguh-sungguh
dengan apa yang dirasakannya.
Ribuan syukur ia ucapkan buat Sang Maha Cinta yang telah menciptakan
segalanya. Jagad raya yang luas dengan jutaan populasi manusia, dan dengan
uniknya mengapa ‘dia’ yang dipilihnya. Tragisnya, mengapa ia justru takut,
takut kehilangan. Kehilangan sesuatu yang belum dimiliki atau mungkin tak akan
pernah ia miliki selamanya. Sedangkan ia sadar bahwa ia tidak berhak untuk itu.
Dan atas dasar itulah, ia putuskan untuk belajar mengikhlaskan. Bila
orang lain mampu untuk ikhlas saat kehilangan sesuatu yang sudah mereka miliki
bertahun-tahun, mengapa ia untuk sesuatu yang belum ia miliki pun tak mampu? Belajarlah,
belajarlah. Bukan untuk tidak mempedulikan harapan. Namun untuk menyingkap
rahasia besar-Nya. Biarkan jarak dan waktu yang akan menjawab semuanya. Apakah perasaan
itu semakin membuncah atau justru semakin hilang dan mengering. Bisajadi sudah
tertulis di lauhul mahfuz-Nya bahwa ini bukan waktu yang tepat. Allah tangguhkan
keinginan itu, dan suatu hari nanti saat keduanya sudah siap, mereka
dipertemukan dalam keadaan yang terbaik. Karena dia yang sejati akan selalu kembali. Dan itu semua akan menjadi kejutan. Canggih
sekali, bukan?
Sucianik, 22 Dhq 1436 H
Pekanbaru
Qolbuna baina ashabi'ir rahmaan, Yuqollibu kayfa yasyaa'...
BalasHapus(hati kita berada pada genggaman jari-jari Ar-Rahman, Dia bolak-balikkan sekehendak-Nya)..
Maka, mintalah pada Sang Rahman agar Dia menetapkan hatimu pada cinta seseorang yang mencintaimu karena cinta pada-NYA..
Allahumma inni as'aluka hubbaka wa hubba man ahbabta wa 'amalan yuqorribuniy ilaa hubbika..
(Ya Allah, Aku memohon Cinta-MU dan cinta orang yang mencintai-MU dan amalan yang membuatku dekat dengan-MU)...
Allahumma aamiin
Perjalanan panjang 5 tahun mengubah fikir dan sikap seseorang. Masa yg lalu bukan berarti telah berdebu. Tapi siapkan masa sekarang untuk hasil yg terang benderang
BalasHapus