The Cashflow Quadrant, karangan Robert T. Kiyosaki. Sebagian orang
yang suka membaca mengenal dan pernah membaca buku ini. Saya bahkan
berkali-kali menghatamkannya. Pemikirannya keren, membangkitkan semangat
berwirausaha. Banyak orang sukses menjadi pengusaha karena terinspirasi oleh
buku ini. Namun tidak sedikit pula orang yang meninggalkan bangku sekolah
setelah membacanya. Agak ekstrim memang.
Di dunia nyata pun, ada banyak Robert T. Kiyosaki Robert T.Kiyosaki
lainnya. Di kampus dan di sekolah kita bisa menemukan wujudnya. Ada yang
mengatakan bahwa kita tidak perlu belajar sungguh-sungguh untuk menjadi orang
berhasil dalam hidup ini. Kalau versi dunia kampusnya, ada yang sibuk jualan
dan organisasi, lalu mengatakan bahwa belajar tidak penting. IPK tinggi tidak
penting. Yang penting kita punya skill dan jaringan luas. Ada pula yang
mencibir orang-orang yang lulus kuliah cepat lalu menganggur setelah tamat. Ada
pula yang menunjukkan terang-terangan rasa tidak sukanya kepada mahasiswa yang
lebih memilih fokus kuliah ketimbang berbisnis atau pun berorganisasi.
Tragisnya, ada sebagian dari ‘Robert T. Kiyosaki’ ini yang menjadi
motivator dan trainer, lalu pelan namun pasti merasuki pemikiran para pemuda
dan remaja sehingga mereka berubah pikiran untuk tidak lagi menuntut ilmu
dengan baik di sekolah.
Saya tidak sedang menyulut pertengkaran dengan mereka yang saya
sebut dengan para ‘Robert T. Kiyosaki’ tadi. Tidak pula sedang membela mereka
yang fokus belajar di sekolah dan di kampus. Dan saya juga tidak sedang
menjelek-jelekkan bukunya Robert T. Kiyosaki. Buku ini justru bagus untuk
dibaca. Ambil sisi baiknya. Buang bagian yang berbahayanya. Ini perlu sidikit
digaribawahi supaya tidak terjadi kesalahpahaman nantinya.
Yang saya ingin tekankan adalah, tetaplah menuntut ilmu dengan
sebaik-baiknya. Tetaplah juga belajar mengasah keterampilan dengan berorganisasi
atau pun belajar berbisnis atau apa pun lah itu pengembangan diri selain
akademik. Seekor burung bisa terbang tinggi pastilah karena memiliki dua sayap
yang kuat. Dan sekarang kita analogikan sayap kanan adalah softskill,
keterampilan, kepemimpinan, dan kepribadian. Sementara sayap kiri adalah
intelektual dan ketajaman berpikir. Kita butuh dua sayap yang kuat itu. Hidup
ini tidak semata-mata tentang nilai tinggi dan prestasi akademik. Tidak pula
semata-mata tentang kepribadian, keterampilan, dan kepemimpinan yang baik. Dan
tidak pula semata-mata tentang ‘menjadi orang kaya’.
Saya tidak tega melihat ada teman yang waktu di bangku SD, SMP,
SMA-nya sangat rajin belajar, lalu tiba-tiba bilang IPK tidak penting. Apalagi
sampai mengkritik rekan mahasiswanya yang lulus cepat ketika di kampus. Tidak
ada yang salah dengan lulus lambat atau pun cepat. Apa pun lah itu alasan dan
penyebabnya. Setiap orang memiliki jalan hidup dan keputusannya masing-masing
yang patut kita hargai dan hormati.
Kita tidak perlu menghina orang lain untuk menjadi mulia. Karena
hanya Allah yang tahu siapa yang terbaik. Terus terang, saya sakit mata melihat
ada yang merasa hebat banget dengan usaha dan lulus lamanya. Juga sakit mata
dengan orang yang sinis kepada para aktivis dan pebisnis yang kerjanya ngurusin
negara dan usaha. Memang merupakan sebuah prestasi yang membanggakan bisa punya
usaha sambil sekolah atau kuliah. Tapi ya gak perlu sampai bilang kalau orang
yang tamat cepat lalu jadi karyawan itu makhluk bumi kelas dua juga lah. Gak
perlu sampai segitunya.
Ayolah, saling menghargai. Itu lebih mendamaikan dan menentramkan.
Tidak perlu hujat orang lain. Biarlah mereka dengan jalan hidupnya karena kita
akan mengambil pelajaran dari pengalaman masing-masing. Apalagi kalau sampai
secara tidak langsung bilang bahwa orang-orang yang berpikir dengan otak kiri
itu adalah orang-orang konservatif alias jadul. Mengagung-agungkan otak kanan,
meremehkan orang-orang otak kiri. Hei, tolonglah ya, ini sudah 2016, Mas, Neng,
kedua belahan otak itu Allah ciptakan pasti ada gunanya.
Dan terakhir, sebenarnya untuk apa saya menulis ini. Pentingkah
mengkritisi apa yang dilakukan orang lain? di satu sisi tidak. Toh apa
urusannya dengan saya. Tapi satu hal, saya gak rela kalau sampai adik-adik kami
yang masih polos itu terpengaruh dengan pola pikir sempit yang mengatakan bahwa
kita harus jadi pengusaha, harus jadi kaya, atau senada dengan itulah. Atau
bisikan-bisikan yang bilang, gak usah mau jadi guru, karyawan, bla la bla. Mari
kita bayangkan perusahaan tanpa karyawan. Sekolah tanpa guru. Semua orang ingin
jadi pengusaha dan pemimpin. Dunia bisa kacau, bukan?
Tetaplah belajar dengan sungguh-sungguh. Pelajari sebanyak mungkin
hal-hal baru agar kelak kita bisa menjadi generasi yang mampu menjawab
tantangan masa depan agama dan bangsa ini. Semoga.
Pekanbaru, 04-03-2016 M/24-05-1437 H
*Sucianik Skyda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar