“Nik,
ingat pesanku selalu ya. Jangan pernah berharap pada siapa pun. Termasuk aku. Tak
ada seorang pun yang bisa kita harapkan di muka bumi ini. Bukan karena mereka tak
menyayangi kita atau tak peduli kepada kita segala macam. Tapi karena kondisi
mungkin saja berubah dan kita harus melakukan semuanya sendiri. Kau paham?”
Aku
menggeleng, menatap heran. Benar-benar tak paham. Tinggi sekali
kata-katanya.
“Baiklah.
Kalau kau tak paham, kau ingat-ingat saja ya. Suatu hari nanti kau pasti
paham.” Ujarnya tersenyum, berlalu tanpa peduli dengan wajah bingungku.
Aku
mengingat pesan itu hingga jauh hari. Bukan karena ingatanku sangat kuat, bukan
pula karena suaranya yang tegas dan bulat. Tapi memang karena terus diulangi.
Nyaris tiap hari. Meski dengan padanan kata yang berbeda.
Bahkan
kalimat itu tidak hanya berseliweran di kepala. Kini ia telah tertanam di lubuk
hati nun jauh di sana. Meresap ke dalam darah, lalu mengalir dalam tingkah.
Menjadi suatu prinsip yang mengakar dalam diri.
Hari
ini, di tengah hiruk pikuk skripsi dan tugas-tugas yang sebenarnya tak seberapa
berat dibadingkan beban hidup yang beliau rasakan di sana, pelan, terasa
menyelinap ke dalam hati ini, aku sungguh rindu suara itu. Bisa mendengarkan
beberapa patah kata lewat telepon saja sudah sukup memberi tenaga. Apalagi bisa
memeluk dan menciumnya.
Aku
dulu benci sekali dengan pola kehidupan yang ‘semuanya dibiarkan sendiri’
seperti yang beliau terapkan. Merasa tak ada yang peduli. Bahkan dalam keadaan
‘lemah iman’ aku merasa ingin mati saja.
Aduhai,
ternyata semua tak selalu seperti yang kita pikirkan. Justru dari situ aku
belajar memecahkan masalah. Justru dari situ aku tahu bahwa proses untuk
‘menjadi bisa’ itu memang sakit. Justru dari situ aku kini berterima kasih
telah dilahirkan dari rahimnya. Terima kasih, Ibu Cantikku. Meski aku belum
berhasil menjadi tangguh, tapi setidaknya aku tahu dari mana harus melangkah
dan kemana harus menuju.
Teruntuk
Bintang Inspirasi, salam sayang dari gadis kecilmu. Do’akan aku segera selesai
di episode ini, dan melanjutkan petualangan berikutnya.
Pekanbaru, 17 Rabiul Akhir, 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar