Sabtu, 19 September 2015

Potret Terindah dari Kediri

Meski ratusan bintang yang bisa kutatap dari jendela kamar ini berkilauan di langit sana, tetap saja tidak bisa melengahkan dari apa yang kupikirkan sekarang. Entah aku yang terlalu pemikir, entah hal itu memang sesuatu yang akan membuat seorang gadis kecil sepertiku tidak bisa bahkan sekadar untuk memejamkan mata dengan tenang. Aku bisa saja lari dari kenyataan dan melangkah pergi. Meninggalkan rumah kecil ini. Namun hal itu bukanlah keputusan yang bijak kupikir.
“Nay, tahukah kau mengapa air laut itu tidak rasa bangkai atau stroberi?” pertanyaan ayah di suatu pagi, waktu itu usiaku masih enam tahun.
Aku menatap ayah beberapa detik. Tergelitik dengan pertanyaan itu. Ayah hanya tersenyum, lalu memegang pundakku.
“Sungguh, kau akan tumbuh menjadi gadis yang bijak, Nay.”

***
Jenazah-jenazah siap dimakamkan. Ibu-ibu menangis. Anak-anak kelaparan dan matanya tampak mulai cekung. Terdengar suara burung gagak memecah sunyinya langit Kediri. Aku melihat sekeliling. Entah kapan wajah-wajah yang kucari itu akan muncul. Betapa aku ingin memeluk mereka.
Mak cik Zulfa, adik perempuan ayah yang ikut merantau ke sini bersama kami juga kehilangan suami dan dan anak laki-lakinya yang bernama Raihan. Namun dia memutuskan untuk kembali ke Pekanbaru seminggu setelah kejadian itu. Dia mengajakku pulang berkali-kali. Tapi aku tak mau. Aku hanya ingin bertemu ayah. Aku yakin ayah masih di sini.
Dan keyakinan itulah yang membawaku terus melangkah hingga hari ini. Ditambah dengan adanya kehadiran Winda, teman dekatku sejak Taman Kanak-kanak yang juga mengalami hal yang sama. Kami saling mendekap. Menguatkan. Dan hanya satu hal yang kami pikirkan. Hidup harus tetap berlangsung.
“Nay, kita harus melakukan sesuatu.” ujar Winda dia suatu senja.
“Tentu saja, Win. Meski kita belum tau itu apa.”
Kupeluk Winda sangat erat. Sejak tinggal di rumah ini, aku merasa telah berubah menjadi pendiam. Sepanjang hari aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri. Tak banyak yang bisa kuucapkan untuk menghibur Winda atau pun untuk sekadar bercakap dengan kawan-kawan lain. Apalagi kalau sudah melihat wajah laki-laki yang belakangan kami panggil Abi, aku jadi lebih pendiam lagi.
Ini kehidupan baru yang menyenangkan agaknya.
***
“Nay, kau lihat ituuuu…” Winda berteriak.
“Hey, cepat kejaaaar!!” aku tertawa.
Winda terbirit-birit. Merentangkan tangannya di depan wanita berambut pirang yang kami kejar itu. Ini pasti seru. Pikirku.
“Why?1” wanita itu berhenti dan melihat kami satu-satu.
“Good question!2” jawab Winda tanpa merasa bersalah.
Aku menahan tawa. Mulai tersenyum ramah kepada wanita itu sambil memikirkan kata-kata apa yang kuucapkan.
“Nice to see you.3” aku tersenyum lebih lebar.
Wanita itu mulai tersenyum.
“Have we ever met before? I’m so sorry. Sometime I forget because most of Indonesians are friendly.4” wanita itu memelas, merasa sangat bersalah seperti seorang pembantu yang tertangkap mengambil jam tangan majikannya.
“Yes, of course. We met when you were also playing at this beach.5” jawab Winda sebelum aku menjawab dengan jawaban yang lebih logis.
Lalu kami bercakap-cakap panjang dengan wanita berambut pirang yang ternyata adalah seorang gadis keturunan Belanda. Christin Lewis namanya. Aku terkekeh. Ternyata cara ini cukup ampuh untuk menaklukkan bule-bule di pantai ini.
Kegiatan ini seringkali kami lakukan sejak tinggal di rumah yang sama. Kami ingin belajar bahasa Inggris dengan mereka. Tak jarang kami di marahi oleh bule-bule karena mereka merasa terganggu. Tak apa, memang selalu ada harga yang harus dibayar. Kami ingin kursus bahasa asing, tapi kami tak pernah tega untuk merepotkan abi. Biarlah kami belajar dengan cara-cara kami sendiri.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menikmati kehidupan baru ini. Kehidupan keras yang kujalani tanpa ayah disampingku.
***
Hidup ini memang tidak seperti cerita di novel-novel yang sering Lewis hadiahkan padaku. Sepuluh halaman tentang kesedihan, halaman kesebelas bisa saja sudah berubah menjadi kehidupan yang sangat menyenangkan. Seorang pangeran datang menyunting gadis dalam cerita itu, lalu mereka menikah. Bahagia selamanya. Kepahitan usai sudah.
Namun di kehidupan yang sebenarnya, butuh bertahun-tahun untuk berdamai.
“Ayah, Nay sungguh merindukan ayah…” kutarik napas dalam-dalam.
Splash! Kilatan cahaya membuyarkanku. Sebuah kamera yang pernah Lewis hadiahkan agar kami bisa belajar fotograpi. Aku menjadi objek sasaran Winda kali ini.
“Hayo, Princess ketahuan melamun…” canda Winda.
“Hush, diam!” aku benar tak berselera melawannya.
“Kau kenapa?” dia memegang bahuku.
“Pergi dari sini.” Aku tidak berselera melanjutkan percakapan. Winda tak bicara apa pun lagi. Membiarkanku tenggelam dengan apa yang kerinduan kepada ayah.
“Nay, kau sungguh akan tumbuh menjadi seorang gadis yang bijaksana. Kau tidak banyak bicara. Namun sekali bicara kau bisa mengunci mati semua wacana yang ada.” Ayah seringkali mengucapkan kata-kata itu padaku.
“Dan kau adalah seseorang yang selalu tahu jawaban dari semua pertanyaan.” Lanjutnya.
Hari ini tahun ke lima setelah kejadian menyakitkan itu. Ayah benar-benar tidak pernah muncul lagi. Berbeda dengan Winda yang bisa kembali berkumpul dengan keluarganya dua tahun kemudian. Bencana itu telah mengubah langit Kediri kami.
Aku tumbuh hanya bersama ayah sejak kecil. Apa pun keperluanku, ayah yang siapkan. Termasuk mengepang rambutku bila akan berangkat ke sekolah. Ayah bahkan memasakkan kue di hari ulang tahunku. Sedikitpun tidak ada celah bagiku untuk bertemu.
***
“Anak-anak, kalian tahu mengapa air laut tidak pernah rasa bangkai atau stroberi?” Tanya bu Naylah di mata pelajaran Sains pagi itu.
“Tidak buuuuu…” jawab anak-anak serempak.
“Lihatlah, betapa banyak orang meninggal di lautan. Atau pun kapal berisi stroberi yang tenggelam. Tapi tetap tidak mengubah rasa air laut, bukan? Kalian tahu kenapa, karena lautan itu luas, Anak-anakku. Jadikan hati kalian seluas lautan maka kalian tidak akan pernah merasakan kesedihan…”
Anak-anak menyimak cerita kapal stroberinya Bu Naylah. Bagi seorang guru, mata bulat anak-anak yang menatap ingin tahu adalah kekuatan sekaligus keajaiban.
Dia melanjutkan cerita tentang bagaimana dia belajar bahasa asing dari bule-bule di sekitar panti asuhan yang dia tempati waktu kecil. Bagaimana dia bisa ingin tetap mengajar Sekolah Dasar tanpa memikirkan gaji sedikit pun meski sudah melanjutkan kuliah di lima universitas di dalam dan luar negeri.
Karena Naylah berasal dari sini. Karena masa depan anak-anak masih suci. Bila orang bijak berkata bahwa kita bisa memberi tanpa rasa cinta, namun kita tidak pernah bisa mencintai tanpa memberi. Hari ini kalimat itu telah menemukan konteksnya.

Pekanbaru, 05 Dhq 1436 H

1 Kenapa?
2 Pertanyaan yang bagus.
3 Senang bertemu denganmu.
4 Kita pernah ketemu sebelumnya ya? Maaf, saya lupa. Karena kebanyakan orang Indonesia ramah-ramah.
5 Tentu. Kita ketemu di pantai ini juga waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar